kalut

 

H u j a n   S a t u   A p r i l


Langit meredup. Desau angin bertiup lirih. Guntur kembali berseteru meyakinkan bahwa hujan akan pulang. Koridor lengang. Di suatu kelas, pelajaran seni sedang berlangsung. Semua siswa tenggelam dalam lautan warna-warna yang beradu dengan kuas dan kulit kanvas. 

Sepasang netra lugu memerhatikan sekitar, menatap sedih langit yang murung dengan sayup-sayup mendengar kepak sayap-sayap burung kelabu menjauh.

“Mengapa langit harus berduka di salah satu hari baikku?”

Ia menoleh ke jam tangannya, sekarang pukul 11.30 WIB. Sebentar lagi waktu istirahat makan siang. Segera dirapikannya warna cat agar terlihat menyatu. Disapu lembut kanvas itu dengan kuasnya. Warna biru, putih, dan kuning mendominasi lukisan. Seutas senyum simpul terbentuk. 

Ia begitu menikmati pelajaran ini hingga kepalanya mengangguk-angguk sambil mendengarkan I remember by Mocca yang ia putar sejuta kali sehari. Di dalam playlistnya hanya ada 9 lagu. Namun ia hampir tak pernah bosan meski hanya itu-itu saja yang telinganya dengar. Tak ada lagu baru, tak ada lagu sendu, hanya ada lagu dengan lirik yang istimewa baginya.

Gemuruh semakin bersorak dan guntur kian membentak. Kepalanya kembali mendongak. Ia tak peduli mau hujan turun dengan badai sekalipun, hatinya tetap riang. Akhirnya bel istirahat berbunyi, namun kakinya tak juga pergi. Kelas setengah penuh, tidak banyak siswa yang pergi ke kantin. Suasana dingin mengurung mereka dalam rasa malas.

“Roti keju dan segelas chamomile sepertinya enak.” bicaranya pada diri sendiri. Lalu ia mencuci kuas dalam gelas yang disediakan, sedangkan palet warna dibiarkan. Kalau kering masih bisa diberi air dan dipakai lagi, pikirnya.

 Gadis itu beranjak menuju koperasi sekolah. Tidak mau ke kantin. Terlalu ramai. Terlalu bising. Setelah membayar semua yang dibutuhkan, ia hendak kembali ke kelas. Namun langkahnya terhenti di depan mading. Netra pelangi itu terpaku pada sesobek gambar seorang laki-laki yang berdiri di pinggir jalan di tengah hujan.

 Kesan pertama kali yang didapat dari gambar itu hanyalah kelabu dan biru. Resah dan pilu. Bila dilihat lebih lama lagi, ia seperti tidak sedang berdiri begitu saja. Ada sesuatu yang ia tunggu. Ada kepulangan yang diburu. Ia dapat membayangkan jari-jemari yang membeku, tubuh yang mengigil, namun masih punya hasrat untuk tinggal dan tetap disitu.

            Pendar di matanya perlahan menghilang. Hangat dari chamomile yang ia genggam menguap berang. Ia diam. Hanya bisa diam. Siapa gerangan yang menggambar keresahan seperti ini? Bedebah mana yang membuat batin orang lain terpenjara dalam sebuah gambar? ia sangat akrab dan tahu betul bagaimana rasanya di posisi laki-laki itu. 

            Seakan ada energi yang masuk dan merenggut kebahagiaan dari orang yang menatapnya. Ah, seperti dalam film Harry Potter saja. Usah dipikirkan, kembali saja ke kelasmu dan selesaikan lukisan tema musim panas itu. Lekas pergi. Jangan lihat gambar itu lagi. Menyita pikiran dan merampas gemilang. 

            Setelah hatinya mencak-mencak tak keruan, baru ia pergi. Agaknya roti favorit dan minuman yang katanya ampuh menenangkan tak lagi berguna sekarang. Hanya hambar yang tersisa. Senyumnya hilang. Ia berdiri di depan lukisannya lalu kesadaran itu datang.

            Ia sadar bahwa karyanya tak punya makna. Layaknya ampas yang pantas dibuang. Seketika ucapan guru seni tadi pagi diputar kembali di kepalanya.

            “Hari ini kalian akan melukis. Tapi bukan sekedar melukis benda atau pemandangan biasa. Ibu minta kalian untuk melukis bagaimana perasaan kalian hari ini. entah itu abstrak dengan penuh warna dan tak beraturan, entah riang tak terhingga, marah, sedih. Apapun itu. tunjukkan dalam lukisan dengan sejujur-jujurnya.”

            Seharusnya ketika gurunya mengatakan hal itu, ia bisa memanfaatkannya dengan baik. Untuk apa kau melukis kebohonganmu? Kegembiraan musim panas? Omong kosong macam apa itu. Tidak lucu. Apa tak lelah terus menerus menampilkan tawa palsu? 

        Lantas ia mengambil tube cat warna hitam. Dituangkan ke atas palet dan kembali melukis. Ketika kesadaran itu datang, ia tak lagi bisa menahan perasaannya. Semua yang tersimpan dengan baik di balik wajah ceria yang biasa ia tampilkan, perlahan retak dan menampilkan sandiwaranya selama ini. Wajahnya meraut sedih. Siapa yang berlayar pergi melatihnya sendiri untuk berpura-pura gigih, semesta?

        Tak lain gadis itu hanyalah seorang penipu mahir. Seorang pembohong ulung. Hingga tak ada lagi tanya, “apakah kau tak apa?” tertawa miris sambil menangis. Meringis. Tak ada lagi yang bisa memeluknya sempurna. 24/7 tanpa henti. Pergi pulang tertatih-tatih. Sampai raganya lupa terbiasa letih.

            Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Lukisannya pun telah selesai. Cemerlangnya sinar mentari berganti menjadi pekatnya malam. Tanpa bulan, tanpa bintang, tanpa kerlap-kerlip pelita buatan. Matahari yang kembali ke peraduan. Burung –burung yang kembali ke sarang, juga seseorang yang pulang dan tak kembali lagi. Seseorang yang panas di kening dan dingin dikenang.

            Ia keluar kelas dengan hati lebam-lebam. Tak lagi sempat membalas sapa atau sekedar melempar seutas senyum pada orang yang menyapanya. Mereka mungkin bingung. Tapi dirinya lebih bingung. Perasaannya tak lagi bisa ia rasa. 

            Hujan belum reda. Tetapi ia tetap menerobos tajamnya rintik-rintik yang turun. Ia berharap bisa melupakan gambar itu. Ia berharap bisa kembali mengenakan topengnya. Ia berharap tawa palsu itu menyelimutinya kembali. Namun...

            Tepat di seberang gerbang, di pinggir jalan itu, di bawah hujan yang kian menderas, dengan jas hujan yang sama, laki-laki itu berdiri disana. Persis seperti dalam gambar.

            Ambyar.

            Benar-benar kurang ajar.

12.11.19

 


Comments

Popular posts from this blog

kacung

kasih

karya #1